Seputar Tokoh Legendaris dan Seorang Ilustrator Pencipta Tokoh Si Unyil

Selasa, 04 Juli 2017

PENGHARGAAN YANG PERNAH DIRAIH PAK RADEN


Suyadi ‘Pak Raden’ inspirasi anak tahun 80-90an
 

Melihat wajahnya di foto lawas tahun 1980-an di buku Apa & Siapa 1985-1986, Suyadi tampak tak berkumis. Namun seperti dikatakan buku itu di kalimat awal profil singkatnya, kilimis dan tanpa kumis melintang pun ia tetap dipanggil Pak Raden oleh anak-anak di sekitar tempatnya tinggal. 

Tidak terlalu salah. Kecuali kumis, wajah Suyadi memang mirip tokoh pelit dalam serial Si Unyil, yang muncul saban Minggu di TVRI tahun 1980-an. Sama gemuknya, suaranya juga pas dengan perwatakan Pak Raden yang antagonis.

Suyadi si Pak Raden. (foto: dok. Apa & Siapa 1985-1986)

Kepada penulis buku Apa & Siapa, Suyadi sendiri merasa suaranya mirip suara Burisrawa dan Dursasana, atau kalau marah seperti suara Baladewa–ketiganya dari dunia wayang. “Di sinilah sulitnya menjadi Pak Raden,” katanya dikutip buku itu. Acap memperkenalkan diri sebagai “Raden Mas Singomenggolo Jalmowono”, sosok yang tampil harus kontroversial.

Lebih tepatnya kontradiktif. Pak Raden dimusuhi anak-anak karena pelit. Yang menontonSi Unyil dulu tentu masih ingat bahwa Pak Raden bisa marah besar bila ada yang mencuri mangganya. Meski dimusuhi karena pelit, ia tetap menjadi teman main anak-anak, misalnya dalam latihan baris-berbaris.

Sepanjang hidupnya, jauh setelah Si Unyil tamat dan kalah populer oleh kartun Jepang, Suyadi tetap menghidupkan karakter Pak Raden. Ia tetap menjadi sahabat anak-anak dengan mendongeng ke sana-ke mari, menulis buku cerita anak dan dalam setiap kesempatan muncul dengan pakaian kebesaran Pak Raden: blangkon, beskap dan tongkat serta kumis hitam melintang.



Dalam jagat budaya pop kita tak banyak sosok yang begitu melekat dengan sebuah karakter sepanjang hidupnya. Selain Suyadi dengan karakter Pak Raden-nya, yang langsung muncul dalam ingatan adalah Kang Ibing atau nama aslinya Raden Aang Kusmayatna Kusiyana Samba Kurnia Kusumadinata, yang terkenal sebagai Si Kabayan. Kang Ibing telah meninggal terlebih dahulu bulan Agustus 2010 silam.

Butuh waktu tidak sebentar dan dedikasi tak terperi agar sebuah karakter menancap di benak orang. Baik Kang Ibing dan Suyadi melakukannya sepanjang hidup masing-masing. Kang Ibing berjuluk Kabayan lantaran kerap memainkan tokoh legendaris dongeng Sunda itu di berbagai kesempatan sejak usia mudanya. Bersama Aom Kusman dan Suryana Fatah, Kang Ibing tergabung dalam kelompok lawak De’Kabayan. Saat kisah Kabayan diangkat ke serial TV tahun 1990-an, Kang Ibing lagi yang memerankannya. Sejak itu setiap kali mengingat sosok Kabayan, orang bakal teringat wajah Kang Ibing.

Jalan hidup serupa tampaknya dilalui Suyadi, pemeran Pak Raden.
Lahir di Puger, Jawa Timur, 28 November 1932, ia berasal dari orang tua yang tergolong mampu. Ayahnya seorang patih di zaman Belanda. Meski keluarganya berada, mainan yang disukai Suyadi kecil hanya pensil warna yang dipakaimya untuk corat-coret. Bakatnya pada dunia seni rupa sudah muncul sejak kecil. Selain jago menggambar, ia juga gemar membentuk sesuatu dari tanah liat atau lilin. Biasanya ia membayangkan diri memainkan ciptaannya itu sambil menembang. “Saya waktu kecil bercita-cita jadi dalang,” katanya di buku Apa dan Siapa 1985-1986.

Suyadi tak jadi dalang. Nasib membawanya kuliah jurusan Seni Rupa ITB hingga sarjana, bergelar “doktorandus” yang selalu dibawa di depan namanya. Ia bahkan sempat jadi dosen luar biasa di almamaternya. Pada saat itu cita-citanya sudah berubah: memiliki studio animasi dan film boneka.



Sahabat Sejati Anak-anak

Suyadi memulai kariernya dengan menggambar sejak masih mahasiswa, yaitu dengan membuat ilustrasi cerita anak. Ia terpilih sebagai ilustrator buku cerita anak-anak terbaik di acara Tahun Buku Internasional 1972. Selain itu, ia juga mengarang buku anak-anak sendiri.

Kemampuan menggambar lalu membawanya pula belajar hingga ke Prancis. Selama tiga tahun ia belajar perfilman di studio Prancis, Les Cineastes Associes dan di Les Films Martin Boschet. Ia pernah bekerja sebagai art director dan menangani beberapa film seperti Lampu Merah, Pemburu Mayat, Kabut di Kintamani dan Cobra. Namun, ia tak merasa betah di dunia art directing.

Karena art director juga harus menangani kostum dan make up pemain, ia merasa kurang sreg. “Padahal saya ini kan tukang gambar,” kata Suyadi. “Jadi animator-lah sesungguhnya profesi saya.”


 Ada sebuah kalimat mengharukan yang terpampang di layar saat Suyadi menerima hadiah rumah tsb

“Jika jarum jam dapat diputar kembali, saya ingin tetap menjadi Suyadi. Suyadi yang lebih baik. Suyadi yang berbuat lebih banyak untuk dunia anak dan Suyadi dengan kondisi keuangan yang lebih baik.”

Ah, andai jarum jam bisa diputar kembali. Selamat jalan, Drs. Suyadi. Terima kasih, Pak Raden




Penghargaan 1

Drs. Suyadi alias Pak Raden menerima penghargaan dari Institut Teknologi Bandung. Kehadirannya mencairkan seremoni peringatan 92 tahun ITB sebagai kampus pendidikan tinggi teknik di Indonesia, di Aula Barat ITB, Selasa, 3 Juli 2012.

Berbeda dengan penerima penghargaan lain yang berpakaian formal seperti kemeja berdasi dan jas, Suyadi memakai baju kebesarannya sebagai Pak Raden. Ia memakai beskap, kain, dan belangkon, serta kumis palsunya yang tebal. Walau memakai tongkat, Suyadi yang kini berusia 79 tahun itu sudah agak payah berjalan sehingga harus didampingi ke tempat penghargaan.

Menurut Wakil Rektor Bidang Informasi dan Komunikasi Hasanudin Zaenal Abidin, Pak Raden dinobatkan sebagai tokoh animator industri kreatif. "Boneka si Unyil itu pelopornya," ujarnya di sela acara. ITB memberikan penghargaan Ganesa Widya Jasa Utama untuk Pak Raden.

Pak Raden mengatakan, ia tak pernah bermimpi mendapat penghargaan dari ITB. Walau begitu, alumni Seni Rupa ITB angkatan 1952 itu merasa senang dan bangga. "Saya enggak mau ngomongin soal Unyil, di sini kita senang-senang saja. Kasus Unyil masih terus," ujarnya, sambil berlalu dengan kursi rodanya.


ITB seluruhnya memberi penghargaan bagi 18 orang di luar sivitas akademika ITB, seperti kalangan profesional, serta alumni ITB. Sebagian besar hadir langsung menerima penghargaan. "Penghargaan diberikan kepada mereka yang menonjol di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni," ujar Hasanudin.


Penerima penghargaan Ganesa Prajamanggala Bakti Utama diserahkan Rektor ITB Akhmaloka untuk Budi Yuwono Prawirosudirdjo dan Sekretaris Daerah Jawa Barat Lex Laksamana. Adapun Ganesa Widya Jasa Utama, diberikan kepada Erry Riyana Hardjapamekas, R.J. Lino, Fazwar Bujang, Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan, I Made Dana M. Tangkas, Direktur Chevron Pacific Indonesia Abdul Hamid Batubara, dan Kepala BP Migas R. Prijono.

Selain itu, Rinaldi Firmansyah, arsitek F. Silaban, Martha Tilaar, Andi Wijaya, Dian Syarif, dan Suyadi alias Pak Raden. Khusus akademisi dari University of Florida, Christopher Silver, mendapat Ganesa Widya Jasa Adiutama.  

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dan A.R. Soehoed mendapat penghargaan Ganesa Prajamanggala Bakti Adiutama.


Penghargaan 2

Pada tanggal 26 Oktober 2015 pada acara Silet Awards 2015, Drs. Suyadi mendapat penghargaan Charity Silet Award sebagai salah satu seniman Indonesia yang masih eksis hingga masa tuanya, sebagai bentuk penghargaan tersebut beliau diberi Hadiah sebuah Rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar